Selasa, 16 Maret 2010

Gender Menurut Islam Dalam Persepektif Klasik dan Modern

Gender Menurut Islam Dalam Perspektif Klasik dan Modern

Islam adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia untuk memahami realitas kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan Allah sebagai Rahmatan Lil-’alamin. Sehingga – sebuah konsekuensi logis – bila penciptaan Allah atas makhluk-Nya – laki-laki dan perempuan – memiliki missi sebagai khalifatullah fil ardh, yang memiliki kewajiban untuk menyelamatkan dan memakmurkan alam, sampai pada suatu kesadaran akan tujuan menyelamatkan peradaban kemanusiaan. Dengan demikian, wanita dalam Islam memiliki peran yang konprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta mengemban amanah yang sama dengan laki-laki.
Berangkat dari posisi di atas, muslimah memiliki peran yang sangat strategis dalam mendidik ummat, memperbaiki masyarakat dan membangun peradaban, sebagaimana yang telah dilakukan oleh shahabiyah dalam mengantarkan masyarakat yang hidup di zamannya pada satu keunggulan peradaban. Mereka berperan dalam masyarakatnya dengan azzam yang tinggi untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada diri mereka, sehingga kita tidak menemukan satu sisipun dari seluruh aspek kehidupan mereka terabaikan. Mereka berperan dalam setiap waktu, ruang dan tataran kehidupan mereka.
Kesadaran para shahabiyat untuk berperan aktif dalam dinamika kehidupan masyarakat terbangun dari pemahaman mereka tentang syumuliyyatul islam, sebagai buah dari proses tarbiyah bersama Rasulullah SAW. Islam yang mereka pahami dalam dimensinya yang utuh sebagai way of life, membangkitkan kesadaran akan amanah untuk menegakkan risalah itu sebagai sokoguru perdaban dunia.
Dalam perjalanannya, terjadi pergeseran pemahaman Islam para muslimah yang berdampak pada apresiasi mereka terhadap terhadap nilai-nilai Islam – khususnya terkait masalah kedudukan dan peran wanita – sedemikian hingga mereka meragukan keabsahan normatif nilai-nilai tersebut. Hal muncul disebabkan ‘jauhnya’ ummat ini secara umum dari Al Qur’an dan Sunnah. Disamping itu, di sisi lain pergerakan feminis dengan konsep gendernya menawarkan berbagai ‘prospek’ – lewat manuvernya secara teoritis maupun praktis – tanpa ummat ini memiliki kemampuan yang memadai untuk mengantisipasi sehingga sepintas mereka tampil menjadi problem solver berbagai permasalahan wanita yang berkembang. Pada gilirannya konsep gender – kemudian cenderung diterima bulat-bulat olehkalangan muslimah tanpa ada penelaahan kritis tentang hakekat dan implikasinya.
Paradigma Islam dan Feminisme
Apakah Islam mengenal istilah gender – baik dalam perspektif klasik dan modern? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar. Untuk tidak memunculkan kesalahan dan kerancuan dalam paradigma berpikir, agaknya perlu dijelaskan masalah ini – dengan memaparkan metodologi Islam dan feminisme – agar interpretasi kita para muslimah dalam memahami wacana tentang peran perempuan tetap berada dalam koridor konsepsi Islam yang utuh.
Metodologi Feminisme (Gender)
Kelemahan paling mendasar dari teori feminisme adalah kecenderungan artifisialnya pada filsafat modern. Pemikiran modern memiliki logika tersendiri dalam memandang realitas. Filsafat modern membagi realitas dalam posisi dikotomis subyek–obyek, dimana rasionalisme dan empirisme merajai pandangan dikotomis atas realitas, dimana laki-laki (subyek) dan perempuan (obyek) dan hubungan diantara keduanya adalah hubungan subyek–obyek (yang satu mensubordinasi yang lain). Dalam pandangan feminisme modern, deskripsi atas realitas seksual hanyalah patriarkal atau matriarkal. Kelemahan dari dikotomis ini menjadi mendasar karena dalam teori feminisme modern, realitas menjadi tersimplikasi ke dalam sistem patriarki. Hal ini kemudian didekontsruksi oleh era post–modernisme dengan post–strukturalisme. Post–strukturalisme membongkar dikotomi subyek–obyek atau ketunggalan kebenaran subyek tertentu. Sehingga realitas seksualpun tidak lagi dipandang hanya dalam dikotomi yang demikian, tetapi dipandang sebagai bentuk pluralitas dengan kesejajaran kedudukan dan masing- masing memiliki nilai kebenarannya sendiri.
Kelemahan lain adalah alat filsafat modern itu sendiri, yaitu rasionalisme dan imperialisme. Dengan rasionalismenya, modernisme mengandalkan bangunan utama subyektif manusia adalah rasionya, dan mambalut kekuatan subyektif dalam keutamaan rasionya. Sedangkan empirisme mengutamakan pengalaman inderawi dan materi sebagai ukuran kebenaran. Feminisme tidak terlepas dari kelemahan ini pula sehingga baik dalam teori maupun gerakan feminisme mau tidak mau menempatkan diri dalam kategorisasi alat modernisme yaitu rasionalisme dan empirisme.
Metodologi Islam
Jika feminisme mendasarkan teorinya pada pandangan atas realitas yang didikotomi atas realitas seksual (patriarkal), sebagaimana liberalisme atas realitas manusia (individu) dan sosialis atas realitas manusia (masyarakat), maka didalam Islam pandangan atas realitas bukan semata-mata tidak ada dikotomi (sebagaimana post– strukturalisme), sehingga setiap bagian tertentu memiliki nilai kebenaran sendiri. Di dalam Islam, nilai kebenaran dalam pandangan post–strukturalisme adalah nilai kebenaran relatif, sementara tetap ada yang mutlak. Sehingga andaipun ada dikotomi atas subyek–obyek, maka subyek itu adalah Sang Pencipta yang memiliki nilai kebenaran mutlak, sedangkan obyeknya adalah makhluk seluruhnya yang hanya dapat mewartakan sebagian dari kebenaran mutlak yang dimiliki-Nya.
Dengan demikian dalam Islam, hubungan manusia dengan manusia lain maupun hubungan manusia dengan makhluk lain adalah hubungan antar obyek. Jika ada kelebihan manusia dari makhluk lainnya maka ini adalah kelebihan yang potensial saja sifatnya untuk dipersiapkan bagi tugas dan fungsi kemanusiaan sebagai hamba (sama seperti jin, QS 51:56) dan khalifatullah (khusus manusia QS 2:30). Kelebihan yang disyaratkan sebagai kelebihan pengetahuan (konseptual) menempatkan manusia untuk memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari obyek makhluk lain dihadapan Allah. Akan tetapi kelebihan potensial ini bisa saja menjadi tidak berarti ketika tidak digunakan sesuai fungsinya atau bahkan menempatkan manusia lebih rendah dari makhluk yang lain (QS 7:179).
Realitas kemanusiaan juga demikian, dia tidak didasarkan oleh kelebihan satu obyek atas obyek yang lain, berupa jenis kelamin tertentu atau bangsa tertentu. Perubahan kedudukan hanya dimungkinkaan oleh kualifikasi tertentu yang disebut dengan taqwa (QS 49:13). Dengan demikian, dikotomi subyek–obyek di dalam Islam tidak sesederhana pandangaan feminisme modern, yaitu dalam sistem patriarkal maupun matriarkal. Kualifikasi yang terikat pada subyek tertinggi yaitu Allah adalah kualifikasi yang melintasi batas jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, bangsa dan sebagainya. Dengan demikian kategori-kategori kelebihan subyek atau kelebihbenaran dalam Islam tidak berdasarkan rasionalisme dan empirisme, namun kategorisasi yang melibatkan dimensi lain yaitu wahyu.
Secara normatif, pemihakan wahyu atas kesetaraan kemanusiaan laki- laki dan perempuan dinyatakan di dalam Al Qur’an surat 9:71. Kelebihan tertentu laki-laki atas perempuan dieksplisitkan Al Qur’an dalam kerangka yang konteksual (QS4:34). Sehingga tidak kemudian menjadikan yang satu adalah subordinat yang lain. Dalam kerangka yang normatif inilah nilai ideal universal wahyu relevan dalam setiap ruang dan waktu. Sedangkan dalam kerangka konstektual, wahyu mesti dipahami lengkap dengan latar belakang konteksnya (asbabun nuzul-nya) yang oleh Ali Ashgar Engineer disebut terformulasi dalam bahasa hukum (syari’at).
Syari’at adalah suatu wujud formal wahyu dalam kehidupan manusia yang menjadi ruh kehidupan masyarakat. Antara wahyu (normatif) dengan masyarakat (konteks) selalu ada hubungan dinamis sebagaimana Al Qur’an itu sendiri turun dengan tidak mengabaikan realitas masyarakat, tetapi dengan cara berangsur dan bertahap. Dengan proses yang demikian idealitas Islam adalah idealitas yang realistis bukan elitis atau utopis karena jauhnya dari realitas konteks.
Dari kedua metodologi diatas, jelas bagi kita bahwa feminisme dengan konsep gendernya tidak ada dalam
Islam. Namun kita dituntut untuk mampu menjelaskan peran muslimah itu sendiri dengan paradigma Islam (syumul dan komprehensif). Inilah tugas kita sebagai muslimah.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”
Nursanita Nasution, SE, ME*
[*penulis adalah Ketua Departemen bidang Kewanitaan DPP PK. Tulisan ini disampaikan dalam Seminar Sepuluh Tahun Pesantren Putri Pondok Modern Gontor pada 26 Juli 2000]

Filed under: Perang Pemikiran | Tagged: Feminisme, Filsafat, Gender, Metodologi Islam, Modernisme

PEMAHAMAN SIKAP ADIL GENDER DALAM ISLAM
Oleh: Trias Setyawati
Pemahaman ajaran tekstual Islam dalam masyarakat masih sangat terbatas. Sedang dari sisi perilaku, banyak umat Islam yang menjalankan ajaran Islam sebagai sesuatu yang bersifat pribadi, tidak ada pengaruhnya secara sosial dalam masyarakat. Hal seperti ini mungkin juga akan sama ketika kita membahas tentang masalah gender. Dalam Muhammadiyah misal;nya, sudah banyak sekali pembahasan mengenai peran wanita, kemajuan perempuan, kesejahteraan keluarga. Tetapio ketika muncul wacana untuk menjadikan perempuan sebagai pemimpin dalam tubuh PP Muhammadiyah, hal itu menjadi permasalahan yang sangat serius dibahas sampai tingkat muktamar.
Sementara dalam kelompok wanita sendiri sebenarnya ada dua kubu, pertama; ada perempuan yang ingin berbicara dengan jelas menunjukkan jati dirinya. Dan kedua, ada kelompok perempuan yang tidak ingin menunjukkan dirinya.
Dalam konteks keluarga, dalam masyarakat kita, secara tekstual, sebenarnya tidak ada kebijakan-kebijakan (policy) yang menghambat kemajuan perempuan. Di kalangan umat Islam kita, wanita yang sudah maju justru mengalami kesulitan ketika ingin mencari pasangan hidup. Orang masih banyak berpola pikir laki-laki seharusnya maskulin dsan perempuan seharusnya feminim. Pandangan seperti ini tidaklah selamanya benar dan diperlukan adanya usaha untuk mentranformasikan diri dan sosial untuk merubah pemahaman seperti ini.
Dalam rumahtangga muslim, pemahaman seperti ini tampaknya merupakan akibat dari adanya nasehat perkawinan yang terlalu tekstual, padahal dalam realitas permasalahan yang seringkali terjadi dalam keluarga tidaklah sesederhana seperti yang dikontektualkan itu.
Dalam pengalaman saya, kekerasan itu justru sudah diajarkan sejak dari rumah. Misalnya kekeliruan pemahaman orangtua tentang anak yang baik itu yang bagaimana. Menerut orangtua, anak yang baiak adalah anak yang ketika belajar dia duduk, tidak kemana-mana. Hal seperti itu jika tidak dilakukan oleh si anak maka dia dicubit, dimarahi dan sebagainya. Dari hal ini terlihat bahwa kekerasan merupakan hal yang sudah diajarkan sejak dini dari rumah.
Peranan orangtua di Indonesia terlaludominan dan otoriter. Orangtua sering kali menuntut, menghukum anak. Orangtua belum mempunyai sikap adil terhadap anak. Dan hal ini merupakan kenyataan di banyak keluarga Indonesia yang kabanyakan muslim.
Kekerasan terhadap anak secara psikologis, fisik, ekonomi banyak sekali terjadi dalam masyarakat Indonesia. Kesadaran untuk mengambil keputusan yang adil gender dalam keluarga adalah hal yang tidak mudah. Namun ada hal yang perlu diperhatikan tentang sikap adil gender terhadap anak. Tidak selamanya keluarga muda yang menerapkan demokratisasi dalam setiap aspek terhadap anak dapat dibenarkan. Dalam hal-hal tertentu, seperti aqidah, kepercayaan, seharusnya anak mendapat penekanan dari orangtua. Karena dalam beberapa aspek, anak belum mampu diberi kebebasan untuk diserahi tanggungjawab untuk mengambil keputusan sendiri. Dalam kasus-kasus tertentu ini diperlukan indoktrinasi dari orangtua.
Setelah selesai dipaparkan penjelasan tentang permasalahan gender dalam keluarga, forum dilanjutkan dengan diskusi. Pertnyaan pertama diajukan oleh Ibu Rita; "Dalam penjelasan Ibu tadi, kekerasan memang sudah muncul dari rumah. Kira-kira apa yang melatarbelakangi para ibu dalam rumahtangga itu sehingga mereka terlalu memaksakan kepada anak, apakah karen afaktor pendidikan, budaya, ataukah karena kesombongan individu orangtua atau pemahaman keagamaan atau karena faktor lain?" Pertanyaan ini dijawab olah Ibu Trias Setyawati; Nilai-nilai yang dianut dalam maswyarakat seperti anak yang ideal, orangtua yang ideal itu belum berubah. Untuk mentranformasikan pemahaman seperti itu bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk merubah mainset itu diperlukan kesadaran dari orangtua. Orangtua harus harus bisa membangun kesadaran untuk lebih bisa menghargai, termasuk juga kepada anak. Salah satu bentuk kesadaran itu adalah untuk mengakui keterbatasan dan kekurang pengetahuan orangtua. Sebenarnya orangtua itu juga tahu bahwa mereka harus egaliter, tetapi ketika situasi tidak memungkinkan (misalkan banyak tagihan yang harus dibayar) seringkali orangtua akan sangat otoriter dan bisa memicu kekerasan."
Bapak Edi S. mengajukan pertanyaan; "Gerakan kesejajaran gender di Barat dan di Indonesia, menghasilkan output yang berbeda. Di Indonesia gerakan ini bersinggungan dengan budaya yang memang sejak awal lebih bermuatan bias gender. Dari faktor-faktor yang mempengaruhi kemunculan bias gender dalam keluarga, unsur yang paling dominan mempengaruhi kemunculan hal itu dimana? Dari banyak faktor itu kita harus mulai darimana untuk mengurangi bias gender ini? Ketika terjadi bias gender, apakah pengaruh pemahaman agama juga berpengaruh?'. Dijawab oleh Bapak Trias Setyawati; "Perempuan dalam keluarga, terdapat tiga pilihan; menjadi superwoman, wanita yang melakukan sosialisasi di rumah dengan anggota keluarga dengan mengurangi kadar idealitas perempuan secara tradisional, perempuan yang di kantor dan di rumah susah. Dari ketiga pilihan perempuan itu, kelompok yang paling banyak adalah kelompok yang ketiga. Sedangkan kelompok yang pertama, yaitu superwoman, sangat sedikit dan banyak yang tidak berhasil. Sedangkan DBKS (Dewan Binaan Keluarga Sakinah), program ini mengikuti trend Amerika, yaitu womanhood. Di Indonesia, jika dipaparkan perempuan itu seharusnya begini, laki-laki begini, akan menimbulkan pertentangan. Tetapi kalau dikatakan masyarakat yang ideal harus begini, anak-anak yang ideal harus begini, perempuan harus begini, ibunya begini, maka hal itu bisa diterapkan. Berbicara mengenai relasi dalam keluarga berarti berbicara mengenai bagaimana membentuk generasi yang lebih baik dan dalam konteks masyarakat yang lebih seimbang.
Faktor yang dominan mempengaruhi terjadinya bias gender adalah mainset yang sudah masuk dalam norma-norma dan prinsip-prinsip dasar seseorang. Konstruksi berpikir itu tidak hanya berasal dari pemahaman keagamaan saja.
Jadi untuk mengurangi bias gender tidak cukup hanya dengan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga dengan mulai membangun kesadaran supaya transformasi bisa cepat terlaksana. Lebih bagus lagi apabila ada khasanah intelektual dan ada model pemberdayaan perjuangan kesejajaran gender."
Lebih lanjut, Bapak Edi S. menanyakan; Apakah mainset yang terbangun dalam keluarga dapat diubah, ketika ada dua keluarga berbeda yang bersosialisasi?" Dijawab oleh Ibu trias S.; "Kuncinya adalah di komunikasi, namun masyarakat kita miskin komunikasi. Ketika terjadi upaya untuk merubah mainset, biasanya orang akan menanggapi dengan kebencian. Proses perubahan ini akan berhasil jika akhirnya orang berubah menjadi senang dengan cara baru yang kita bawa dan bisa menggunakan cara baru tersebut."
Diskusi dilanjutkan dengan pertanyaan dari Fauzi; "Jika dikuantifikasi, relevansi pengaruih doktrin ajaran agama untuk sampai membentuk mainset itu bagaimana?". Jawab Ibu Trias S.; "Prosedur itu harus dilalui, yaitu mendengar, berdiskusi dan mendapatkan contoh, jadi perlu waktu yang banyak."
Bapak Imama bertanya: Proses belajar dalam keluarga, dalam pengalaman Bu Tris, lebih efektif yang mengedepankan komunikasi ataukah yang dipaksakan, karena konon katanya, orang Jawa kalau sudah dipaksa maka tidak mau belajar?" Pertnyaan ini dijawab oleh Ibu Tris dengan tegas; Sepertti yang sudah dikatakan, dimulai dengan benci dan diakhiri dengan cinta dan rasa senang. Untuk kultur jawa memang diperlukan semacam paksaan dulu baru mereka dapat memahami. Kembali ke permasalahan dalam keluarga, adakalanya anak belum mampu untuk diberi kebebasan pendapat sehingga perlu diberi mentoring, terutama dalam bidang ideologisasi. Jadi meskipun anak itu perlu diberi demokratisasi, tetapi tidak di semua bidang."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar